Membendung Polusi Udara di Jakarta
Pagi-pagi sekali, Cepi (51), warga Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara membawa dua sepeda ontel sewaannya ke kawasan Kota Tua, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.
Sesampainya di Kota Tua, Cepi duduk berteduh di bawah pohon memandangi orang-orang yang lalu lalang, matanya sesekali mengikuti arah asap rokok yang dihembuskannya.
Ia tidak sendiri. Beberapa orang lainnya yang juga menyediakan penyewaan sepeda di sana melakukan hal yang sama. Sejenak, lalu lalang orang berubah menjadi kendaraan yang silih lewat. Sesaat kemudian, pandangan Cepi teralihkan dari asap rokok ke asap kendaraan yang baru saja lewat.
“Katanya sudah ada Low Emission Zone (LEZ) di sini, tapi tidak berpengaruh. Kendaraan masih bandel,” Cepi yang juga ketua paguyuban sepeda ontel di Kota Tua mengatakan kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.
Lahir dan besar di perbatasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara ini, Cepi mengakui bahwa kondisi Kota Tua dan sekitarnya tak banyak berubah. Aturan LEZ di lokasi tersebut tidak membatasi lalu lintas kendaraan maupun polusi yang ditimbulkannya. “LEZ dan revitalisasi Kota Tua memang bagus. Tapi kalau soal polusi, sepertinya tidak ada perubahan sama sekali,” ujarnya.
Di daerah lainnya di Jakarta Selatan, Susi (39) seorang warga Tebet Barat, mengeluhkan kemacetan lalu lintas dan polusi yang ditimbulkannya.
Meski ada LEZ diberlakukan di kawasan Tebet Eco Park, ia hanya untuk akhir pekan saja dan pada hari biasa, kendaraan lewat Clickbet88 seperti biasa. “Jadi ya, area hijaunya tidak merata dibanding kendaraan yang lewat. Aman mungkin di akhir pekan. Tapi selebihnya sama,” kata Susi.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sejauh memang baru menerapkan LEZ di kedua kawasan tersebut.
Di kawasan Kota Tua yang sebagian besar digunakan sebagai jalur pejalan kaki, LEZ diterapkan di Jalan Pintu Besar Utara, Jalan Kali Besar Timur, Jalan Kunir dan Jalan Kemukus, serta Jalan Lada. Bus Transjakarta dan mobil listrik dikecualikan dari larangan ini.
LEZ Tebet Eco Park saat akhir pekan hanya berlaku untuk dua ruas jalan, iaitu Tebet Timur Raya dan Tebet Barat Raya.
Mencukupkan kawasan hijau di Ibukota seluas 661,5 kilometer persegi ini tidak mudah, apalagi mengingat jutaan kendaraan yang ada. Cepi dan Susi hanya dua dari sekian banyak warga asli di sekitar Jakarta yang mengeluhkan kualitas udara yang tak kunjung berubah.
Mereka berharap ada peningkatan kualitas udara secara bertahap dan nyata dengan penegakan hukum yang lebih baik. Selama ini, diakui atau tidak, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI yang membawahi LEZ dan transportasi di Jakarta masih kesulitan mengurangi polusi.
“Untuk mengevaluasi kualitas udara secara lebih komprehensif, disarankan kepada instansi terkait juga melakukan pengukuran kualitas udara secara berkala,” kata Kepala Dishub DKI, Syafrin Liputo.
Namun, dia bangga, sejauh ini, telah terjadi penurunan kadar PM 2.5 (debu) dan kandungan sulfur dioksida (SO2) di kawasan Kota Tua. Syafrin menjelaskan, kandungan SO2 turun menjadi 49 pada hari terakhir uji coba pada medio Februari 2021 dan PM 2.5 turun menjadi 18 pada akhir uji coba.
Menurut data pemantauan kualitas udara di Kota Tua sebelum 8 Februari 2022, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) stagnan di angka 53-58, kata Syafrin. Pengujian pada akhir Februari lalu, ISPU berada di level 49.
Membendung Polusi Udara
“Kabar baik ini bisa menjadi dasar perluasan kawasan LEZ di wilayah kota lainnya,” ucapnya, belum lama ini.
Berbeda dengan di Kota Tua, Syafrin mengaku, belum ada pengukuran kualitas udara di Tebet Eco Park. Padahal November 2022, kata dia, sudah ada koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI dalam penggunaan alat sensor murah untuk mengukur kualitas udara di dua kawasan LEZ itu.
“Terkait manajemen lalu lintas di kawasan Tebet Eco Park, evaluasi yang dilakukan hanya pada jumlah pengunjung saja,” jelasnya.
Syafrin menerangkan, telah terjadi peningkatan kualitas udara di Kota Tua dan di Tebet Eco Park namun pernyataan ini bertentangan dengan hasil pantuaan Republika yang justru menemukan terjadinya penurunan mutu udara.
Pantauan yang menggunakan Breezo Meter Air Quality pada 11-17 Desember 2022 itu memperlihatkan ISPU di Kota Tua sekitar Kantor Pos Jalan Kunir, berada pada angka 57 pada Ahad (11/12/2022), 51 pada tiga hari berikutnya tetapi melonjak menjadi 62 pada hari Jumat. Hari Sabtu angkanya naik kembali menjadi 66.
Pemprov DKI mengakui, upaya pengurangan polusi masih perlu ditingkatkan dan belum optimal, apalagi kendaraan di Jakarta setiap tahunnya terus bertambah seiring dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang masif.
Sementara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Widyastuti mengatakan, tingkat pencemaran berdampak nyata pada pernapasan warga walaupun ia juga menegaskan bahwa jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan penyakit pernapasan lainnya masih sesuai standar.
“Sejauh ini jumlahnya terkendali, dan itu menjadi patokan kami, terutama untuk anak-anak,’ kata Widyastuti, namun ia juga menambahkan ia belum bisa memberikan data jumlah pasien gangguan pernafasan di Jakarta beserta rinciannya per daerah.
Menurut Widyastuti, pemantauan masih berdasarkan kunjungan ke rumah sakit dan puskesmas. “Terkait penderita, kita lihat menurut kelompok geografis. Selama ini sebaran penderita pernapasan di setiap wilayah DKI relatif sama,” jelasnya.
Jakarta, menurut pemantauan IQair masih salah satu kota paling tercemar di dunia tetapi data Badan Pusat Statistik untuk tahun 2018 masih mengatakan tingkat gangguan pernapasan di Jakarta masih sangat sedikit.
Penelitian Masyarakat Eropa untuk Onkologi Medis di Paris, menegaskan polusi menyebabkan kanker dan infeksi pernapasan sementara sebuah studi oleh WHO South-East Asia Journal of Public Health mengatakan polusi udara dan dampaknya adalah masalah yang paling sedikit dilaporkan.
Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020 bertajuk ‘Analisis manfaat biaya kualitas bahan bakar untuk inisiatif ekonomi di Indonesia 2010’, menunjukkan bahwa Jakarta, khususnya, sejak 2010, menjadi lokasi penyumbang PM 2.5 terbesar.
Penelitian itu juga menyatakan jumlah kematian akibat gangguan pernapasan di Jakarta mencapai rata-rata 36 kematian per 100 ribu orang dan angkanya terus bertambah. Laporan itu juga mengatakan biaya pengobatan langsung akibat polusi sdi tahun 2010 setara dengan Rp 60,8 triliun jika dihitung pada 2020.